Cerita Tentang Guru Offline Mengajar Murid Online
Bila kita melihat kehidupan kalangan generasi di akhir abad XX, maka kita menemukan sebuah kebiasaan yang tidak tampak pada generasi sebelumnya. Generasi pada masa sekarang mengalami sebuah masa transisi di mana terjadinya pergeseran dan perubahan dari kebiasaan yang tidak dilakukan oleh orang tua mereka sebelumnya menjadi sebuah kebiasaan atau sifat baru yang mereka alami sehari-hari. Inikah dampak dari globalisasi informasi? Atau justru degradasi budaya di abad baru? Lalu siapa yang bertanggungjawab?
Offline dan Online
Sering kita menemukan di mana anak-anak SMA sedang asik berdiskusi di kantin atau di mal dengan teman-temannya tentang musik, film, seni, gaya, tren, fashion, atau bahkan teknologi dan politik. Obrolan mereka kadangkala terdengar serius karena melibatkan sumber-sumber berita atau informasi yang sangat global. Misalnya satu dari mereka bilang, “Saya tahu dari wawancara CNN” atau “Saya dapatkan berita itu di International Movie Database” bahkan ada yang bilang “Lho, saya sempat mengobrol dengan Issei Miyake.” Wah, betapa hebatnya obrolan anak SMA sekarang? Atau ini hanya gejala kompensasi dari impian dan ambisi mereka?
Lingkup pembicaraan mereka tadi ternyata berhubungan dengan salah satu kegiatan rutin mereka yaitu, browsing (menelusuri), searching (mencari), dan chatting (mengobrol) di Internet. Dengan mudah mereka dapat lakukan setelah pulang sekolah di warnet sekitar rumah, sekolahnya atau di mal-mal. Dalam topik chat itu, mereka membahas dari mulai gaya yang sederhana hingga hal-hal yang cukup serius sebagai materi pembicaraan. Kebiasaan ini bukanlah sebuah kegiatan yang hebat, karena sudah menjadi bagian dari kebiasaan dan topik obrolan anak-anak sebayanya.
Di lain tempat, beberapa orang guru juga sedang berkumpul dan asyik membahas masalah keseharian yang terjadi “tepat” di sekitar mereka. Entah itu masalah negara yang sedang kacau, keuangan yang tak kunjung stabil, atau bahkan perdebatan dua kelompok politik yang tak pernah usai. Topik ini muncul akibat dari kebiasaan mereka membaca koran pagi sebelum berangkat kerja, nonton TV dengan berita yang sama, dan membaca majalah dalam bahasa yang sama. Sesaat setelah mengisi absen di ruang guru. Sambil minum kopi atau teh mereka berdiskusi seru. Saling mengeluarkan argumen dan pendapatnya, tentu tak kalah seru dengan pembicaraan anak-anak SMA tadi.
Kalau diperhatikan sekilas, persamaan kebiasaan dari kedua kelompok generasi tadi hampir sama. Keduanya sedang membahas hal-hal atau topik yang mengena dan menarik untuk dibahas oleh mereka. Yang menjadi menarik untuk dikaji adalah para pelajar tadi memiliki lingkup bahasan yang sangatlah melebar kemana-mana. Dengan Internet mereka dapat membahas dan terlibat dengan hal-hal yang sedang dibahas di belahan dunia lain. Melalui Internet pula mereka dengan mudah dapat bertukar pikiran dengan rekan bicara mereka di tempat yang jauh sekalipun dalam saat yang bersamaan. Bertukaran informasi, saling memberitahu apa yang terjadi di sekitar mereka. Menariknya lagi, mereka tidak hanya share berita atau informasi dalam bentuk tulisan, namun gambar, film, suara, bahkan komunikasi layaknya dengan telepon.
Sementara para guru, bahasan mereka itu terbatas pada lingkup media yang bisa mereka peroleh, katakanlah koran, majalah, atau TV. Jangkauan media tersebut sangat terbatas. Terbatas dalam arti batas waktu tayang, batas waktu edisi, batas waktu terbit, batas sinyal pemancar, batas distribusi, atau batas harga sekalipun. Topik yang mereka bahas memang bahasan umum masyarakat di Indonesia, tapi tidak selalu untuk masyarakat luar Indonesia. Pendapat yang keluar pun tidak akan jauh berbeda karena memang kerangka pembahasan tersebut sudah menjadi pola di masyarakat. Dengan kata lain perbedaan sumber informasi masing-masing mempengaruhi wacana berpikirnya. Atau bisa dikatakan bahwa opini masyarakat dapat digiring oleh media setempat.
Nah, ternyata anak-anak sekolah tadi memang menjadikan Internet sebagai bagian dari keseharian atau kebiasaan mereka. Bagi mereka Internet bukanlah barang atau topik yang hebat. Itu hanyalah sebuah mode, style, atau bahkan tren baru yang mereka “kenakan” dalam keseharian mereka. Sampai batas itulah awal ketertarikan mereka dengan Internet. Anak sekolah sekarang agaknya mulai memilih penggunaan alamat email. Mereka mencari nama yang sesuai dengan karakter, hobi, bintang pujaan, benda favorit, bahkan idealisme yang mereka rasa cocok dengan kepribadian mereka. Ambil contoh gampang, tamara@sportsaddict.com, atau rico@starwarsfan.com, ismet@pokemon.com, dan masih banyak lagi. Bagi mereka alamat email bukan sebuah benda hebat atau canggih layaknya ponsel, namun sebuah pelengkap yang mereka harus miliki dalam memenuhi kebutuhan berkegiatannya, entah itu untuk belajar, bermain, komunikasi, mencari informasi, atau sekedar hiburan.
Proses Belajar
Perkembangan yang terjadi tadi bukanlah hal yang mengagetkan, sejak perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi yang canggih, materi globalisasi mudah dengan deras masuk ke kebudayaan masyarakat perkotaan kita. Sangatlah berdampak pada pertumbuhan atau perkembangan banyak sektor-sektor vital. Kita bisa lihat sebagai contoh di atas tadi. Bukanlah hal yang mengherankan jika banyak pelajar di kota-kota yang menggunakan Internet sebagai alat bantu hobinya, pekerjaannya, komunikasi, bermain, atau bahkan dalam mengerjakan pekerjaan rumahnya atau PR. Hasil bukan lagi menjadi target, akan tetapi risiko dari sebuah proses. Bisa jadi risiko positif atau negatif. Apapun hasilnya, proses harus selalu menjadi bagian terpenting. Karena pengertian tentang belajar itu adalah memahami sebuah proses, bukan berhasil atau gagalnya sebuah hasil pekerjaan. Kekeliruan ini yang kerap menjadikan anak-anak sekolah enggan mengeluarkan jawaban atas sebuah pertanyaan.
Mereka tidak berani melakukan proses untuk menjawab, karena mereka tidak tahu pasti jawaban atau hasil yang benar menurut guru mereka. Mereka takut !!.
Dengan demikian pola pengajaran yang diterapkan pada banyak anak sekolah saat ini sangatlah bergantung pada budaya atau kebiasaan baru yang mempengaruhi lingkungan fisik dan berpikir si anak. Adalah keliru jika pendekatan pengajaran yang dilakukan masih sama dengan metode pengajaran 5 bahkan 10 tahun yang lalu. Di mana sang anak harus mencari jawaban pasti dan benar yang jawabannya sudah tertulis di halaman belakang buku keluaran Departemen dengan ditulis menghadap terbalik. Kebenaran atas jawaban lebih penting dibanding proses berpikir untuk mencari jawaban. Perkembangan cara berpikir anak sekolah sekarang pun ternyata sangat lah agresif. Mereka bisa lantang dalam perbedaan pendapat. Wawasan yang mereka peroleh bisa datang dari banyak sumber dan tempat. Emosi mereka sangatlah menggebu-gebu. Hasrat untuk tampil sebagai yang terbaik masih ada dalam diri mereka.
Salah satu jalan yang sangat mendukung majunya pola belajar mengajar di Indonesia adalah dengan memperluas wacana berdiskusi para guru dengan cara melangkapi diri mereka dengan sarana Informasi seluas-luasnya. Para guru mulai membuka diri atas serbuan globalisai teknologi dan informasi. Internet di sekolah harusnya sudah menjadi bagian dari keseharian para guru. Materi pelajaran dapat dengan mudah dicari dan disebarluaskan dengan media ini. Keterbatasan tempat dan waktu sudah bukan jadi alasan untuk mengembangkan informasi atau edukasi dari guru ke muridnya. Wawasan berpikir akan menjadi sangat luasnya.
Namun akan menjadi sebuah bandul pemberat jika saja para guru tetap teguh dengan pendirian mereka bahwa murid harus tetap mengikuti bingkai wawasan gurunya saja. Kebenaran dalam sebuah pertanyaan ada pada guru. Pertumbuhan informasi siswa hanya datang melalui keran gurunya saja. Sementara sang guru hanya mempunyai sebuah keran kecil yang airnya mengalir satu alur dan dari satu sumber. Dengan kata lain pola berpikir siswa berjalan secara linear atau segaris. Keterlibatan guru dalam mengangkat materi pelajaran sangatlah terbatas pada buku yang diedarkan lewat departemen, sementara persaingan dalam memperoleh informasi pelajaran, bagi seorang siswa akan jauh lebih luas dengan cara duduk di depan komputer dengan betahnya berjam-jam untuk mencari, menelusuri, bahkan berbicara dengan rekan atau lawan bicaranya dari tempat lain melalui Internet.
Semua ini dapat dilakukan dengan mudahnya oleh para siswa akibat dari mudahnya informasi yang masuk melalui banyak media. Teknologi telekomunikasi dan informasi berkembang sangat pesat diluar dugaan banyak pihak. Internet bergerak tanpa batas, bahkan liar, gerakannya kadangkala banyak mengejutkan banyak pihak. Percepatan pertumbuhan media Internet dibandingkan dengan media lain, menurut sebuah info sama seperti perbandingan usia manusia dengan anjing, yaitu 1 : 8. Betapa dahsyatnya sebuah Internet yang merasuki semua bagian dari produk budaya hanya dalam waktu hitungan hari bahkan jam. Bahasa, musik, seni, film, teater, dan teknologi massa menjadi bergeser sangat jauh. Kebiasaan keseharian di kota-kota besar menjadi sangat berbeda dengan 5 tahun ke belakang. Ketergantungannya pun dapat dirasakan di berbagai sektor. Sebagai contoh, apakah kita pernah menduga bahwa ternyata sudah banyak bertebaran alat-alat komunikasi dengan teknologi canggih bertebaran di mana-mana. Yang dulunya hanya kita temukan dalam film-film fiksi ilmiah saja.
Bukanlah tak mungkin bahwa semua perubahan yang terjadi di sekitar kita ini akibat dari pergeseran keseharian masyarakat Indonesia atas teknologi tanpa batas ini. Baik dan buruknya menjadi tanggung jawab budaya. Kita tak bisa menyalahkan siapa-siapa karena akibat yang kita rasakan. Makin jauh kita memberi jarak, makin jatuh bangsa kita di tinggal oleh bangsa lain. Menyelamatkan budaya bangsa ini bukan dengan cara membendung budaya lain yang masuk, akan tetapi dengan kesiapan atau kematangan budaya di diri masing-masing individu. Bagaimana caranya? Jawabannya hanya satu, yaitu pendidikan sejak dini. Hanya pendidikan yang bisa mengamankan bangsa ini dari segala turbulensi budaya yang menerobos deras ke tiap-tiap komponen masyarakat. Keterkaitan satu bangsa dengan bangsa lain bukan dari keterkaitan fisik, akan tetapi keterkaitan pikiran, rasa, emosi, dan ketergantungan dari sebuah kebiasaan. Proses ini akan terus tumbuh seperti bola salju yang menggelinding. Apalagi dengan adanya pertumbuhan budaya di luar sana yang sangat tak terduga. Sebuah sumber mengatakan bahwa teknologi yang terjadi saat ini hanyalah sebuah pucuk bukit gunung es yang mana hamparan kaki gunung yang sangat luasnya masih tersembunyi dibawah laut. Cepat atau lambat puncak bukit ini akan makin muncul dan membesar, hamparannya makin meluas.
Pikiran Terbuka dan Tanggung Jawab
Keterbukaan cara berpikir sangat menjadi andalan dalam mengikuti perkembangan yang gila ini. Kreativitas menjadi ujung tombak dalam menghadapi persaingan yang kian luas dan cepat. Dengan demikian guru—sebagai tombak andalan pendidikan bangsa—sangat dibutuhkan dalam mejaga alur kerangka berpikir siswa-siswa dan anak didiknya, bukan dengan cara memaksakannya. Seperti yang disebutkan tadi di atas, bahwasannya hasil bukannlah menjadi tujuan, akan tetapi proses yang dijadikan panduan. Pemahaman atas sebuah proses akan mampu dengan mudah menganalisa setiap permasalahan. Hasil adalah risiko dari sebuah proses dan jangan juga heran apabila hasil pada saat ini bisa berbeda dengan hasil di kemudian hari kelak. Ada sebuah tulisan di sebuah dinding kantor biro karoseri mobil di Jakarta, “Jangan bertanya bagaimana cara membuat jembatan untuk menyeberangi sungai, akan tetapi berpikirlah bagaimana cara kita bisa menyeberangi sungai”. Makna dari tulisan tadi sangatlah jelas dan menarik, bahwa untuk menyelesaikan masalah banyak sekali cara yang bisa ditempuh. Tidak harus melalui jalan yang biasa digunakan banyak orang sebelumnya.
Terakhir, yang ternyata jauh lebih penting adalah tanggung jawab para guru, orang tua, tokoh masyarakat, bahkan individu masing-masing, adalah menjaga untuk tidak terjebak dalam dunia maya tadi. Larut dalam sifat egois yang berlebihan. Anti-sosial, menyendiri, dan menurunnya mobilisasi terhadap lingkungan sangat dimungkinkan menjadi penyakit baru yang timbul di kalangan anak sekarang atau istilahya Travelling Without Leaving—kata musisi Jamiroquai. Perpindahan pikiran mereka dapat dilakukan tanpa melakukan perpindahan badani. Pikiran mampu menggiring mereka ke dalam sebuah dunia yang mereka bisa rasakan indera mereka. Mereka akan larut dalam kenikmatan individu. Menyendiri, tidak berhubungan secara badani. Jika kita sadari bahwa secara psikologis manusia adalah mahluk sosial yang memiliki ketergantungan, akan tetapi kajian yang lebih jauh dari sekedar itu adalah bahwa mereka pun harus saling bersentuhan satu dengan yang lain. Baik itu sentuhan fisik, pikiran, dan emosi. Karena bagaimana pun keterlibatan emosi dan sosialisasi sangatlah penting dan berpengaruh atas pertumbuhan generasi tertentu. Apakah manusia bisa dikatakan hidup jika ia memiliki badan tanpa pikiran?
Sumber :
Master.web.id
Penulis :
Anto Motulz seorang praktisi desain dan Web multidisiplin, dari Internet marketing hingga pengamat gejala sosial di masyarakat, dari komikus hingga desainer Web. Dapat dihubungi di motulz@yahoo.com.
Minggu, 11 Desember 2011
Analisa Terhadap Pelajar Di Sekolah Pada Era Internet
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)